Kamis, 14 Maret 2013

Panggil Bapak, Pak Lik


                                               


"Allah... Allah... Allah..." Hanya ini yang keluar dari mulutku dan terus kubisikkan di telinga kanan bu lik1 Nia yang kini sedang melawan maut di salah satu kamar ICVCU. Tak terputus... Sesekali tercekat oleh tangis yang tak kuasa ku bendung. 

"Allah... Allah... Allah..." Tak terputus, dan terus kubisikkan. Badanku setengah membungkuk, berdiri di pojok samping kanan bu lik Nia, tepat menjangkau telinga. Sebelah kanan dan kirinya, berdiri petugas kesehatan yang bergantian memompa dada bu lik Nia dengan begitu sigap. Satu orang sibuk mondar-mandir, meracik obat sambil meneriakkan sesuatu, entah, tapi mungkin itu adalah nama obat yang ia masukkan. Dan, satu orang lagi dengan stetoskop menggantung di lehernya, berdiri kira-kira di ujung tempat tidur, dekat kaki bu lik Nia. Ia, hanya berdiri sambil mengarahkan pandangannya ke arah bu lik Nia dan sesekali ke arah monitor yang terus bersuara seolah suara jantung bu lik Nia yang dikeraskan. Semua sibuk. Dan begitu riuh, meretakkan keheningan malam. Saat ini, tepat pukul 23.30.   

"Allah... Allah... Allah..." Terus kubisikkan di telinga kanan bu lik Nia, dengan berdiri setengah membungkuk. Ku belai pipinya, ku usap pundaknya, dan kugenggam lengan dan tangannya sejauh yang ku raih sembari terus membisikkan kata-Allah di telinganya. Tiba-tiba, terlihat laki-laki tua masuk ke dalam kamar dengan jalan tergopoh-gopoh bersama tongkatnya. Itu bapak. Beliau tersenyum menatapku dan matanya terlihat pak berkaca-kaca. Aku berusaha bangun dan mendekati bapak. Tapi bapak memberiku kode untuk tetap berada di tempat. Bapak yang mendekatiku. Mengambil posisi di samping kananku dan mendekati telinga bu lik Nia, membisikkan kata-Allah ditelinganya. Bapak, sesekali menengok ke kiri, sembari menatapku. Begitu berulang kali. Entah, tatapan yang keberapa, bapak dengan suara rendah mengatakan bahwa bu lik Nia adalah ibu kandungku. Mulutku terdiam. Dadaku berdegup sangat cepat. Mata kami saling bertatap. Spontan, aku raih telapak tangan kanan bu lik Nia, aku cium tangannya berkali-kali dan ku katakan,"Ibuuu... maafkan Ifa... terima kasih semuanya, terima kasih atas keputusan ibu menyerahkan pengasuhan Ifa pada keluarga bapak Bayu... Terima kasih Bu..." Terus ku ciumi tangan ibu kandungku sembari tersedu dan ingatanku terus berputar setengah memprotes, "Kenapa bapak baru memberi tahuku sekarang...?"

Dua puluh menit berlalu, dan dokter menyatakan kondisi bu lik Nia, ibu kandungku, kembali stabil dan akan kembali diobservasi ketat. Dada bu lik Nia tidak lagi dipompa, selang napas dari mulut yang tadinya dipompa dengan balon manual, kini disambung kembali dengan mesin napas. 

Aku dan bapak diminta keluar kamar dan diperbolehkan untuk sementara menunggu di dalam ruangan ICVCU, di depan kamar bu lik Nia. 

Aku terus tertunduk, sesenggukan, sesekali menatap wajah ibu kandungku yang terbaring di kamar ICVCU dengan penuh sesal, "Kenapa aku baru tahu sekarang... Terlambat! Pantaskah aku menjadi anak yang berbakti?"

Bapak menggenggam erat pundakku sembari memegang tongkatnya di tangan kiri dan berkata, "Ifa, maafkan Bapak. Seharusnya Bapak dari dulu memberi tahu kamu siapa orang tuamu sebenarnya. Ini, pasti sangat mengagetkanmu bukan? Maafkan Bapak Nak? Sekarang, terserah kamu, kamu bisa panggil Bapak dengan panggilan Pak lik2 karena bapak adalah Paklikmu sendiri." Spontan, kudekap bapak dengan erat, sangat erat. Dan, kubisikkan kata, "Terima Kasih Bapak, Bapak adalah bapak yang telah mengasuhku dari kecil dengan penuh kasih sayang, mengantarkanku mengejar citaku. Sekali lagi Terima kasih..." 


1Bu lik    :  Tante
2Pak lik  :  Om

Tidak ada komentar:

Posting Komentar