Selasa, 09 Juli 2013

Agar energi Momentum itu Tidak Sia-sia

-Renungan di ambang pintu Ramadhan-




Kembali berkesempatan, bertemu dengan bulan Ramadhan saat ini, adalah anugerah terindah dari Allah untuk kita. Sudah sepatutnya kita bersyukur atas karunia ini, mengisinya dengan berbagai ibadah yang berkuantitas dan berkualitas, tidak membiarkannya berlalu tanpa prestasi dihadapan-Nya. Berharap ketika hari kemenangan tiba, kita benar-benar menjemputnya dengan segala daya rukhiyah yang fitri. 

Ramadhan, adalah momentum perubahan yang dahsyat bagi diri yang tunduk, patuh, beriman dan bertaqwa kepada Allah. Luar biasa. Ramadhan adalah bulan yang paling istimewa dan paling utama dibanding bulan-bulan lainnya. Keistimewaan bulan Ramadhan diantaranya Ramadhan dipilih sebagai bulan puasa, selain itu ramadhan adalah syahrul qur'an (bulan diturunkannya Al Qur'an), ditetapkannya malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatul qodar), ditetapkan sebagai bulan yang penuh ampunan dan rahmat Allah, ditutupnya pintu neraka dan dibukanya pintu syurga serta dibelenggunya setan-setan. Begitu istimewanya Ramadhan, akankah ia kita biarkan berlalu begitu saja?
Berikut adalah petikan salah satu rubrik Majalah Tarbawi tentang momentum dan perubahan. Semoga bisa memantik motivasi kita agar enerrgi momentum terutama Ramadhan, tidak sia-sia.   


Betapapun, momentum itu, baik yang kita rencanakan, atau dihampiri, atau diciptakan sendiri, atau yang datang secara tidak terduga, tetap memiliki semangatnya sendiri dalam membantu proses perubahan yang kita inginkan. Namun begitu, ia juga bisa menghilang dalam diri kita. Lenyap tak memberi bekas. Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami masa di mana dia sangat menggebu-gebu saat awal melakukan suatu pekerjaan, tetapi kemudian menjadi kendur dan tidak bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan tuntas. Akhirnya, kita kecewa karena tidak mendapatkan hasilnya.

Maka, agar kita tidak kehilangan momentum, berikut berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Lakukan saja dahulu, Momentum akan menguatkannya
Menunggu momentum adalah sebuah tindakan yang tidak bijak karena dengan begitu, akan ada banyak waktu yang terlewatkan percuma. Maka tindakan yang paling tepat adalah mulai melangkah sejak sekarang. Meskipun hanya beberapa langkah. Sebab, suatu saat nanti, ketika langkah kita yang masih gontai itu  bertemu sebuah momentum ia akan menjadi kuat dan berjalan semakin cepat. 
Imam Asy Syaukani berkata, "Beberapa ulama memberikan nasehat agar aku jangan pernah berhenti menulis, meski hanya dua baris tulisan setiap hari. Aku melaksanakan saran itu dan kini aku memetik buahnya."
Ini seperti yang telah disyaratkan Rasulullah SAW, "Pekerjaan yang terbaik adalah yang dikerjakan secara terus-menerus, walaupun itu merupakan pekerjaan yang kecil."
Perumpamaan lain, jika hujan itu turun terus menerus meski tidak deras, lama kelamaan dia akan menciptakan genangan air. Dan begitu hujan deras turun, banjir pun pasti tidak terelakkan.
Jika kita ingin mengerjakan semua pekerjaan sekaligus, akibatnya kita sering menggerutu. Kemudian hal-hal berikut akan mengikutinya; rasa bosan, lelah dan yang terburuk adalah meninggalkan pekerjaan itu. Begitu  juga ketika kita tiba-tiba memaksa diri melangkah lebih cepat dalam sebuah momentum, maka rasa lelah akan segera menghampiri. 
Tetapi jika kita mengerjakan pekerjaan kita selangkah demi selangkah dan membaginya dalam beberapa tahap, kita akan mencapai sesuatu yang jauh lebih banyak. Renungkanlah tentang shalat. Kita diperintahkan melaksanakannya lima kali di waktu yang berbeda selama satu hari. Jarak antara shalat dengan shalat berikutnya memberikan keleluasaan untuk melakukan aktifitas yang lain dan waktu antara satu shalat dan shalat berikutnya juga cukup memberi jeda, sehingga kita kembali bersemangat untuk mengerjakannya. Namun seandainya, shalat-shalat itu disatukan dalam satu waktu, tentu kita akan merasa jenuh. 
Makna dari suatu hadits mengatakan, bahwa jika seseorang memacu kudanya berlari kencang dalam perjalanan yang panjang, hal itu bukan hanya membuang tenaga, tapi juga tidak akan sampai pada tujuannya. Dari pengalaman nyata, kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang bekerja secara konsisten pada waktu tertentu akan menghasilkan lebih banyak dibandingkan dengan orang yang mencoba mengerjakan semuanya sekaligus. Dan ketika ia menemui sebuah momentum, maka prestasi kerja tentu akan berlipat.
Bahwa shalat membuat kita teratur dalam waktu adalah pelajaran yang kita ambil dari ulama dan telah memberikan manfaat perubahan dalam kehidupan. Inilah pelajaran yang disimpulkan dari ayat ini, "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An Nisa': 103)
Jika seseorang bisa mengamalkan kewajiban agama dan dunia di antara waktu-waktu shalat itu, maka akan dia rasakan waktunya itu penuh berkah. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar."(QS. Al Anfal: 29) 
Untuk bergerak dari titik di mana kita berada saat ini ke titik yang kita inginkan, kita harus membuat rencana untuk dijalankan, tanpa harus menunggu momentum. Tokoh reformasi Inggris yang terkenal, john Ruskin, pernah berkata, "Ketika cinta dan keterampilan bekerja sama, maka ia akan menciptakan karya besar." Artinya, ketika kemampuan kita berjalan harmonis bersama tujuan, dari sana kita bisa mengharapkan sebuah perubahan terjadi. 
Sebagian besar orang dalam hidup menginginkan kebahagiaan, kesehatan, ketersediaan finansial yang cukup, prestasi yang dikagumi, dan sebagainya, tetapi sebagian besar orang tidak cukup serius untuk merencanakan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Malah, mereka berangan-angan tanpa tujuan, seperti sepotong kayu apung, menunggu perubahan dan kesuksesan menghampirinya, atau asyik menunggu momentum yang tak pernah dia pastikan kapan datangnya.

Ketekunan Menciptakan Momentum
Setiap orang lahir dengan benih yang luar biasa. Setiap orang lahir untuk menang. Dalam kenyataannya, dalam proses perkembangbiakan, ada sekitar 200-300 juta benih yang dilepaskan. Dan kita adalah pemenangnya. Di luar semua yang berjuta-juta itu, kita ditakdirkan untuk memenangkan pertandingan, bukan hanya satu di antara satu juta, tetapi satu di antara lebih dari 200 juta. Kita dilahirkan untuk menang. Jadi, jangan menyerah sekarrang. 
Kita semua mempunyai potensi besar untuk itu. Tetapi kesuksesan dalam hidup tergantung pada penampilan kita, bukan pada potensi kita. "Lahir untuk menang" bukan berarti bahwa kita dilahirkan sebagai pemenang, walaupun kita telah memenangkan pertarungan pertama dan paling penting. Tapi lebih dari itu, bahwa kita dilahirkan untuk menang, atau dengan keinginan untuk menang. Tapi, tidak semua kita selalu menyiapkan diri untuk momentum-momentum yang tak terduga. Ketekunan pasti menjadi pilihan tersulit. Kenyataannya adalah jauh lebih mudah untuk menyerah, karena sangat sedikit orang yang sukses. 

Antusiasme Menjadikan Hidup, Semua Seperti Momentum
Momentum hanyalah berfungsi menggerakkan pada langkah kita yang pertama. Selanjutnya ia harus sealu diisi dengan antusiasme, tekad, ketekunan dan pembelajaran yang berkelanjutan.

Perubahan itu Hanya di Tangan Allah
Perubahan itu milik Allah. Semua hal dibuatnya berubah, sekehendak-Nya. Hanya Dia sendiri yang tidak berubah, dan tidak akan berubah. Maka kepada-Nya kita harus menyandarkan segala perubahan yang kita inginkan. Bukan semata pada momentum.
Semangat kita untuk berubah dan menjalani sarana-sarananya, itulah yang mengantarkan kita pada perubahan. Tidak hanya pada momentum. Sebab itulah yang telah dijanjikan Allah dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'du: 11) 

sumber: Tarbawi Edisi 241 Th. 12, Muharram 1432, Desember 2010

Sabtu, 04 Mei 2013

Sejenak 'Tumakninah'

Bersama waktu yang kian berlalu,
menghempas...
melibas...
diri-diri yang jenak.

Dan, aku ingin memposisikan jenak demi jenak diriku...
dalam rajutan penuh hikmah,
agar,
berpola makna indah...
menjadi diri yang berkenan manfaat,
lagatnya lugas, cukup asor...
menyertakan Tuhannya tidak hanya dalam jenak-jenak dirinya...

Aku ingin meratus syukur pada-Mu...
atas bertambahnya bilangan usiaku, kini...
atas runtutan nikmat dan keberkahan yang Engkau limpahkan kepadaku, keluargaku...
suami yang menyayangiku, menyayangi keluargaku...
kesabaran, kelapangan, dan kemudahan untuk senantiasa khusnudzon dalam menanti buah hati kami,
Damai luar biasa Alloh...
Subhanalloh...

Belum tuntas ku merangkai istiqomah...
belum genap ku menghadirkan hati...
dalam khusyuk di setiap sujud ibadahku...

Sejenak 'Tumakninah'

untuk kemudian merangkai gerakan dengan maneuver,
seperti rajutan penuh hikmah - berpola makna indah...

Forever loving you, Suamiku Mas Esha Najitama...
Terima Kasih... :)
Termasuk kejutan mengesankan pagi ini... :)



                                                         
            



Minggu, 24 Maret 2013

Administration of Oxygen Therapy, Standard of Nursing


Introduction
Oxygen was discovered by Joseph Priestly in the late 18th century. Some time later it was used as a treatment for patients in hospital with acute and chronic respiratory failure. The benefits of oxygen therapy include relief of breathlessness (dyspnoea), improvement in activities such as mobility and a reduction in limb swelling (peripheral oedema) (Hall and Wood 1991).

Oxygen, the colourless, odourless gas, is a drug commonly used in a variety of settings to treat or prevent tissue hypoxia – diminished amount of oxygen in the tissues (Jamieson et al, 2007). However, despite its wide and frequent use in health care, oxygen is often accurately prescribed, resulting in inappropriate administration, monitoring and evaluation of the therapy (Kor and Lim 2000, Wong et al2000, Thomson et al2002, kbar and Campbell 2006). It's indicated in patients with acute hypoxemia (PaO2 less than 60 mm Hg or SaO2 less than 90%) and those with symptoms of chronic hypoxemia or increased cardiopulmonary workload. Oxygen is also given to help with the removal of loculated air in the chest, as you would see with pneumothorax or pneumomediastinum.

Indications for Oxygen Theraphy
Respiratory failure is one of the main indications for oxygen therapy. Respiratory failure is the inability to maintain adequate gas exchange and is characterised by abnormal arterial blood concentrations of oxygen and, in certain cases, carbon dioxide (CO2 ) (British Thoracic Society (BTS) Standards of Care Committee 2002).

A raised respiratory rate is another indication for oxygen therapy. The accurate monitoring and recording of respiratory rate for acutely ill patients are key markers for the deteriorating patient (National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) 2007).

Documented or suspected hypoxaemia – adiminished amount of oxygen in arterial blood –is a further indication for oxygen therapy. Hypoxaemia is characterised by either the arterial oxygen level being below 8kPa (BTS Standards of Care Committee 2002, Resuscitation Council (UK) 2005), the oxygen saturations being less than 90%, or either value being below the desirable range for the clinical situation. Importantly, the arterial CO2 level is normal or low. This is also referred to as type I respiratory failure (BTS Standards of Care Committee 2002).

Patients with type II respiratory failure also have an arterial oxygen concentration level below 8kPa, however, the arterial CO2 concentration is greater than 6kPa (BTS Standards of Care Committee 2002). The hypercapnia (raised CO2 level in arterial blood) and hypoxaemia occur as a result of decreased alveolar ventilation.

Hypoxia can also result from cardiac respiratory arrest; acute myocardial infarction resulting in a reduced cardiac output; severe trauma, including severe head injury; anaemia with reduced haemoglobin available to transport the oxygen; infection through increased metabolic demand; surgical intervention; and anaesthesia (Kallstrom and American Association for Respiratory Care (AARC) 2002, Pruitt and Jacobs 2003, Higgins 2006).

Hypoxia can be divided into five types namely hypoxic, histotoxic, anemic, stagnant and hypemic. Histotoxic hypoxia is associated with the cells inability to utilize the oxygen provided by the blood. Anemic hypoxia is the lack of oxygenated blood content. Stagnant hypoxia is when there is some kind of obstruction in the flow of blood which hinders the blood to reach the related parts of the body. Hypemic hypoxia is caused due to the inability of the blood to transport oxygen to different parts of the body which is usually caused due to carbon monoxide poisoning.

Asessing Patients for Oxygent Theraphy
The initial needs assessment for oxygen therapy is made clinically, considering what we see when we evaluate the patient, lab findings, and what we know about the underlying disease process. Pay particular attention to three systems when addressing the potential need for oxygen therapy. Typically, we jump to the respiratory system and look for respiratory signs and symptoms, which may include alteration in rate (tachypnea, bradypnea, or apnea) or depth of respiration (hypopnea), difficulty breathing (dyspnea), and changes in color (pallor or cyanosis). However, neurologic signs and symptoms, as well as cardiac response, can provide important clues that will help direct your search for hypoxemia.

Examples for changes in neurologic status associated with hypoxemia can range from irritability and changes in level of alertness in acute settings to complaints of chronic headaches in patients with long-standing hypoxemia. The heart may respond to hypoxia by increasing or decreasing its rate, depending on the severity of the hypoxic insult. BP may be elevated early on and then become markedly decreased if the hypoxic insult is severe.

The pulse oximeter is a noninvasive device that can be used to measure oxygen saturation. This technique utilizes the oxyhemoglobin dissociation curve, which will shift with changes in temperature, pH, or different types of hemoglobin. Arterial blood gases are obtained by arterial puncture and provide information about acid-base balance, specifically pH, PaCO2, PaO2, and bicarbonate levels.

Methods of Oxygen Delivery
Use the three P approach (Purpose, Patient, and Performance). For example, critically ill patients often need a stable, high FiO2. Oxygen delivery devices fall into two main categories – low flow delivery systems or high flow delivery systems (Bennett 2003).
Low flow delivery systems are also referred to as variable performance systems. These systems deliver oxygen at a low flow rate and provide a variable oxygen concentration to the patient. This occurs because the patient’s inspiratory flow rate is greater than the flow rate of oxygen; the patient will draw air in from the atmosphere, which will dilute the oxygen concentration delivered. Low flow oxygen systems include nasal cannula and low flow masks.

The nasal cannula is a comfortable delivery system for patients. It doesn't interfere with talking or eating and comes in sizes appropriate for all age groups. It can deliver FiO2 levels of 0.24 to 0.40 with flow rates up to 8 L/minute in adults. Remember that the amount of oxygen delivery may vary according to inspiratory time and rate and depth of respiration. A good rule of thumb is that for each liter of oxygen provided, the FiO2 should increase by approximately 4%. The formula is FI,O2 = 20% + (4 × oxygen litre flow). The FI,O2 is influenced by breath rate, tidal volume and pathophysiology. The slower the inspiratory flow the higher the FI,O2In infants, flow rates shouldn't exceed 2 L/minute. You'll see nasal cannulas utilized for both short and long-term oxygen delivery.

Low flow oxygen masks, the simple face mask is more cumbersome. Some patients complain of feeling claustrophobic with masks, and they must be removed before meals. For these reasons, you'll see them used for short-term oxygen delivery. Simple face masks can provide FiO2 levels between 0.35 and 0.50. Be careful with patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and carbon dioxide (CO2) retention. Low flow rates can cause rebreathing and increased levels of CO2.

Cooper and Cramp (2003) stated that the flow rate for a simple mask should not be below 5L perminute, because the patient could easily breathe in exhaled air that would not be flushed from the mask at the lower flow rates. However, it is essential to refer to the manufacturer’s guidelines because many manufacturers of variable performance masks indicate that both 24% and 28% oxygen are delivered at flow rates below 5L per minute. If the patient is breathing hard and fast, the concentration of oxygen delivered will be lower because the oxygen will be diluted by large volumes of atmospheric air entrained into the mask. If, however, the patient is breathing slowly and deeply, less ambient air is drawn in and the concentration of oxygen delivered through the mask will be greater.

A non-rebreather mask is similar to a simple face mask, however, it has multiple one-way valves in the side ports and a reservoir bag attached. The one-way valve prevents air from being drawn into the mask, but enables the exhaled CO2 to leave the mask, therefore preventing the risk of rebreathing. The reservoir bag fills with oxygen thus providing an oxygen reservoir available for the patient to inspire. The one-way valve between the mask and the reservoir bag prevents exhaled air entering the reservoir bag. Being a variable delivery device, oxygen can be delivered at between 10L and 15L per minute and can provide 80-90% oxygen (Pruitt and Jacobs 2003).

The partial rebreathing mask can provide oxygen supplementation between 40% and 70%, with variable stability. This bag requires a minimum flow of 10 L/minute to prevent bag collapse on inspiration. Failure to ensure that the bag is inflated poses a suffocation hazard.

High flow delivery systems High flow devices are also known as fixed performance masks. These deliver oxygen rates above the normal inspiratory flow rate. These systems are often referred to as Venturi masks because they work using the Venturi principle. A Venturi mask mixes oxygen with room air, creating high-flow enriched oxygen of a settable concentration. It provides an accurate and constant FI,O2. Typical FI,O2 delivery settings are 24, 28, 31, 35 and 40% oxygen. Oxygen is passed through a narrow inlet entraining air from the atmosphere. The concentration of oxygen delivered depends on the flow of oxygen via the inlet and the size of the holes through which the air is entrained. The bigger the hole on the port, the greater the volume of air entrained into the mask and the lower the concentration of oxygen delivered. These masks can deliver between 24% and 60% oxygen, depending on which adapter is used (Bennett 2003). These masks are used for patients who require a high or accurate concentration of oxygen.

Methods of Measuring Oxygen Saturation and Respiratory Status
Pulse oximetry. This is a way of being able to measure the oxygen saturation level in a person’s blood. There are many such machines available which are generally small and portable. They are extremely useful, particularly for 'one off' measurements, continuous monitoring or overnight to establish significant oxygen desaturation during sleep. They do not, however,measure PaCO2 (level of CO2 in the blood).
Arterial oxygen content  (equation) =
(Hgb x 1.36 x SaO2) + (0.0031 x PaO2)

SaO2 = % of hemoglobin saturated with oxygen 
(Normal range: 93-100%)

Hgb = hemoglobin  
Normal range(Adults): Male: 13-18 g/dl  Female: 12-16 g/dl

PaO2= Arterial oxygen partial pressure
(Normal range: 80-100)

CaO2: Directly reflects the total number of oxygen molecules in arterial blood (both bound and unbound to hemoglobin).

Blood gas analysis. More detailed information relating to respiratory status can be obtained by arterial blood gas analysis. Carbon dioxide levels + pH (acidity) are measured in addition to oxygen and other products of metabolism.

Acid base balance. Chemical reactions in the body are dependent on a balance of acids and bases to maintain a pH of 7.35-7.42. The acid base balance is the normal ratio between the acid ions and the alkaline ions required to maintain this pH. Observations Other bservations that could be carried out when assessing respiratory status include:
  1. Rate and depth of respiration.
  2. Patient’s colour. 
  3. Temperature.
  4. Blood pressure.


Complications/hazards
Oxygen is combustible, so direct contact with oil, grease and alcohol should be avoided. Smoking must also not be allowed within the vicinity of the oxygen delivery system.

A small number of patients with chronic lung disease processes do not respond to changes in the blood level of carbon dioxide as a stimulus to breathing, and may respond to a low blood oxygen level. If this is suspected, care should be taken that the administration of oxygen does not inhibit this drive, so causing carbon dioxide retention/narcosis. Advice should be sought from experienced clinicians.

However, oxygen will almost always be required for acutely ill patients whose condition is deteriorating.

Professional Responsibilities
All nurses who administer oxygen must have received approved training and undertaken supervised practice in drug and oxygen administration. The onus is also on the individual to ensure her or his knowledge and skills are maintained from both a theoretical and practical perspective. Nurses should also undertake this role in accordance with their organisation's protocols, policies and guidelines. 


References
Arya, Niharika. 2010. Lack of Oxygen. www.buzzle.com
Bhatti, Shalu. 2001. Oxygen Saturation Levels. www.buzzle.com
Cataletto, Mary. 2011. Fundamentals of Oxygen Therapy. Journals, Nursing Made Incredible Easy
Dunn, Liz and Chrisholm, Hazel. 1998. Oxygen Therapy. Nursing Standard, Royal College of Nursing
Higgins, Dan. 2005. Oxygen Therapy. Nursing Times
McGloin, S. 2008. Administration of Oxygen Therapy. Nursing Standard, Royal College of Nursing



Senin, 18 Maret 2013

Florence Nightingale, Pelopor Keperawatan Modern
-The lady with the lamp-


                             

Florence lahir pada tahun 1820 di Florence, Italia. Ayah Florence bernama William Nightingale, seorang tuan tanah Inggris yang terkenal dan Ibunya bernama Frances ("Fanny") Nightingale nee Smith, keturunan ningrat. Keluarga Nightingale adalah keluarga yang terpandang. Mereka nomaden sesuai dengan perubahan musim. Florence memiliki seorang kakak yang bernama Parthenope. Semasa kecil Florence Nightingale tinggal di Lea Hurst yaitu sebuah rumah besar dan mewah milik ayahnya yang ramai dikunjungi tamu. Florence kecil tidak menyukai keramaian dan berbeda dengan kakaknya, Parthe yang sangat menyukai keramaian. Semakin ramai, Florence semakin bersembunyi menjauh. Masa kanak-kanak Florence banyak berteman dengan binatang. Dia menyukai mereka dan tahu bagaimana memeliharanya. 

Tahun 1833, Florence berusia 13 tahun. William, ayahnya memutuskan untuk mendidik sendiri kedua putrinya. Florence suka belajar dan suka mengajukan pertanyaan. Berbeda dengan Parthe. 

Florence tumbuh tidak seperti anak ningrat kebanyakan yang suka bermalas-malasan dan berfoya-foya. Ia lebih banyak beraktifitas di luar rumah membantu warga sekitar yang membutuhkan. Florence yang mulai menginjak remaja, mulai tidak puas dengan pola hidupnya. Dia tidak berpendapat bahwa garis hidupnya hanya berdandan cantik setiap hari, lalu menikah dengan orang kaya yang berkuasa. 

Tanggal 2 Februari 1837, Florence menulis di buku hariannya, "Hari ini saya mendengar panggilan Tuhan, juga mendengar suara hati. Saya berjanji akan melakukan sesuatu yang berarti bagi sesama." Sejak saat itu Florence mulai serius melakukan sesuatu yang berarti bagi sesama. 

Tahun 1842, Inggris dilanda kelaparan hebat. Setiap sudut negeri terancam kelaparan, penyakit dan kematian. Melihat penderitaan dan penyakit yang dialami sesama, hatinya sangat tersentuh dan sadar akan panggilan diri. Dia bertekad menjadi perawat untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongannya. Tahun 1844, Florence mengutarakan pada keluarga mengenai cita-cita dan niatnya menjadi perawat. Namun, mendapat tentangan keras dari keluarga. Pekerjaan yang akan digeluti Florence waktu itu termasuk profesi yang paling hina dan menjijikkan. Tidak seorangpun mau memilihnya kecuali para biarawati dan wanita setengah baya yang miskin dan tidak pernah menerima pendidikan.

Keluarga Nightingale kedatangan tamu terhormat dari Amerika yaitu Doktor Samuel Ho, seorang dermawan Amerika terkenal. Florence banyak berdiskusi dengan Doktor Ho tentang cita-cita dan niatnya. Atas dukungan Doktor Ho, Florence memutuskan untuk lebih giat mempersiapkan diri bagi pekerjaannya nanti. Tanpa sepengetahuan keluarganya, ia mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan dunia kedokteran. Ia belajar keras hingga larut malam. Florence jatuh sakit karena tidak tahan menyangga beban tekanan keluarga dan dalam kelelahan yang sangat. 

Tahun 1847, suami istri Barcebridge berhasil membujuk orang tua Florence agar ia bisa bertamasya ke Roma sebagai hiburan. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan suami istri Sidney Herbert, seorang yang terkenal dengan jiwa sosialnya. Pertemuan Florence dengan suami istri Sidney Herbert berarti besar bagi perjalanan perawat kelak. 

Tahun 1851 pada saat usianya menginjak 31 tahun, Ia dilamar oleh Richard Monckton Milnes (seorang penyair dan seorang ningrat). Namun lamaran tersebut ditolaknya karena ia sudah memantapkan dirinya untuk mengabdi di dunia keperawatan. 

Tahun 1852, Florence tiba di Rumah Sakit Sosial kota Kaiserswerth-Jerman untuk mengikuti pendidikan perawat selama 3 bulan.Rumah Sakit Sosial Kaiserswerth didirikan oleh Pastor Fliedner. Untuk meningkatkan ketrampilan para perawat, maka sering diadakan pelajaran praktek perawatan. Di sini Florence tidur di rumah panti asuhan dan siang harinya Ia bekerja di rumah sakit. Dalam masa pendidikan, Florence juga mengikuti pembedahan yang saat itu masih dianggap tabu bagi kaum wanita. Florence sangat senang membantu jalannya pembedahan. Setamat dari pendidikan Kaiserswerth, suami istri Herbert memperkenalkan suatu pekerjaan padanya sebagai pengawas di "Klinik kaum wanita". 

Pada 1854 berkobarlah peperangan di Semenanjung Krimea. Tentara Inggris bersama tentara Perancis berhadapan dengan tentara Rusia. Banyak prajurit yang gugur dalam pertempuran, namun yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak adanya perawatan untuk para prajurit yang sakit dan luka-luka. Keadaan memuncak ketika seorang wartawan bernama William Russel pergi ke Krimea. Dalam tulisannya untuk harian TIME ia menuliskan bagaimana prajurit-prajurit yang luka bergelimpangan di tanah tanpa diberi perawatan sama sekali dan bertanya, "Apakah Inggris tidak memiliki wanita yang mau mengabdikan dirinya dalam melakukan pekerjaan kemanusiaan yang mulia ini?".

Hati rakyat Inggrispun tergugah oleh tulisan tersebut. Florence merasa masanya telah tiba, ia pun menulis surat kepada menteri penerangan saat itu, Sidney Herbert, untuk menjadi sukarelawan. 

Pada pertemuan dengan Sidney Herbert terungkap bahwa Florence adalah satu-satunya wanita yang mendaftarkan diri. Di Krimea prajurit-prajurit banyak yang mati bukan karena peluru dan bom, namun karena tidak adanya perawatan, dan perawat pria jumlahnya tidak memadai. Ia meminta Florence untuk memimpin gadis-gadis sukarelawan dan Florence menyanggupi.

Pada tanggal 21 Oktober 1854 bersama 38 gadis sukarelawan yang dilatih oleh Nightingale dan termasuk bibinya Mai Smith, berangkat ke Turki menumpang sebuah kapal. Pada November 1854 mereka mendarat di sebuah rumah sakit pinggir pantai di Scutari. Saat tiba disana kenyataan yang mereka hadapi lebih mengerikan dari apa yang mereka bayangkan.

Beberapa gadis sukarelawan terguncang jiwanya dan tidak dapat langsung bekerja karena cemas, semua ruangan penuh sesak dengan prajurit-prajurit yang terluka, dan beratus-ratus prajurit bergelimpangan di halaman luar tanpa tempat berteduh dan tanpa ada yang merawat.

Florence diajak mengelilingi rumah sakit tersebut oleh Mayor Prince, dokter kepala rumah sakit tersebut dan menyanggupi untuk membantu. Florence melakukan perubahan-perubahan penting. Ia mengatur tempat-tempat tidur para penderita di dalam rumah sakit, dan menyusun tempat para penderita yang bergelimpangan di luar rumah sakit. Ia mengusahakan agar penderita yang berada di luar paling tidak bernaung di bawah pohon dan menugaskan pendirian tenda.

Penjagaan dilakukan secara teliti, perawatan dilakukan dengan cermat;

  1. Perban diganti secara berkala.
  2. Obat diberikan pada waktunya.
  3. Lantai rumah sakit dipel setiap hari.
  4. Meja kursi dibersihkan.
  5. Baju-baju kotor dicuci dengan mengerahkan tenaga bantuan dari penduduk setempat.
  6. Gunungan potongan tubuh, daging, dan tulang-belulang manusiapun selesai dibersihkan, mereka dibuang jauh-jauh atau ditanam. 

Dalam waktu sebulan rumah sakit sudah berubah sama sekali, walaupun baunya belum hilang seluruhnya namun jerit dan rintihan prajurit yang luka sudah jauh berkurang. Para perawat sukarelawan bekerja tanpa kenal lelah hilir-mudik di bawah pengawasan Florence Nightingale.

Pada malam hari saat perawat lain beristirahat dan memulihkan diri, Florence menuliskan pengalamannya dan cita-citanya tentang dunia keperawatan, dan obat-obatan yang ia ketahui.

Namun, kerja keras Florence membersihkan rumah sakit tidak berpengaruh banyak pada jumlah kematian prajurit, malah sebaliknya, angka kematian malah meningkat menjadi yang terbanyak dibandingkan rumah sakit lainnya di daerah tersebut. Pada masa musim dingin pertama Florence berada disana sejumlah 4077 prajurit meninggal dirumah sakit tersebut. Sebanyak 10 kali lipat prajurit malah meninggal karena penyakit seperti; tipes, tifoid, kolera, dan disentri dibandingkan dengan kematian akibat luka-luka saat perang. Kondisi di rumah sakit tersebut menjadi sangat fatal karena jumlah pasien melimpah lebih banyak dari yang mungkin bisa ditampung, hal ini menyebabkan sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara memburuk.

Pada bulan bulan Maret 1855, hampir enam bulan setelah Florence Nightingale datang, komisi kebersihan Inggris datang dan memperbaiki sistem pembuangan limbah dan sirkulasi udara, sejak saat itu tingkat kematian menurun drastis. Namun Florence tetap percaya saat itu bahwa tingkat kematian disebabkan oleh nutrisi yang kurang dari suplai makanan dan beratnya beban pekerjaan tentara. Pemikiran ini baru berubah saat Florence kembali ke Inggris dan mengumpulkan bukti dihadapan Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris (Royal Commission on the Health of the Army), akhirnya ia diyakinkan bahwa saat itu para prajurit di rumah sakit meninggal akibat kondisi rumah sakit yang kotor dan memprihatinkan.

Hal ini berpengaruh pada karirnya di kemudian hari dimana ia gigih mengkampanyekan kebersihan lingkungan sebagai hal yang utama. Kampanye ini berhasil dinilai dari turunnya angka kematian prajurit pada saat damai (tidak sedang berperang) dan menunjukkan betapa pentingnya disain sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara sebuah rumah sakit.

Pada suatu kali, saat pertempuran dahsyat di luar kota telah berlalu, seorang bintara datang dan melapor pada Florence bahwa dari kedua belah pihak korban yang berjatuhan banyak sekali. Florence menanti rombongan pertama, namun ternyata jumlahnya sedikit, ia bertanya pada bintara tersebut apa yang terjadi dengan korban lainnya. Bintara tersebut mengatakan bahwa korban selanjutnya harus menunggu sampai besok karena sudah terlanjur gelap. Florence memaksa bintara tersebut untuk mengantarnya ke bekas medan pertempuran untuk mengumpulkan korban yang masih bisa diselamatkan karena bila mereka menunggu hingga esok hari korban-korban tersebut bisa mati kehabisan darah. Saat bintara tersebut terlihat enggan, Florence mengancam akan melaporkannya kepada Mayor Prince. Berangkatlah mereka berenam ke bekas medan pertempuran, semuanya pria, hanya Florence satu-satunya wanita. Florence dengan berbekal lentera membalik dan memeriksa tubuh-tubuh yang bergelimpangan, membawa siapa saja yang masih hidup dan masih bisa diselamatkan, termasuk prajurit Rusia. Malam itu mereka kembali dengan membawa lima belas prajurit, dua belas prajurit Inggris dan tiga prajurit Rusia. Semenjak saat itu setiap terjadi pertempuran, pada malam harinya Florence berkeliling dengan lampu untuk mencari prajurit-prajurit yang masih hidup dan mulailah ia terkenal sebagai bidadari berlampu yang menolong di gelap gulita. Banyak nyawa tertolong yang seharusnya sudah meninggal. 

Selama perang Krimea, Florence Nightingale mendapatkan nama "The lady with the lamp". Pada tahun 1857 Henry Longfellow, seorang penyair AS, menulis puisi tentang Florence Nightingale berjudul "Santa Filomena", yang melukiskan bagaimana ia menjaga prajurit-prajurit di rumah sakit tentara pada malam hari, sendirian, dengan membawa lampu.

Florence Nightingale kembali ke Inggris sebagai pahlawan pada tanggal 7 Agustus 1857, semua orang tahu siapa Florence Nightingale dan apa yang ia lakukan ketika ia berada di medan pertempuran Krimea, dan menurut BBC, ia merupakan salah satu tokoh yang paling terkenal setelah Ratu Victoria sendiri. Nightingale pindah dari rumah keluarganya di Middle Claydon, Buckinghamshire, ke Burlington Hotel di Piccadilly. Namun, ia terkena demam, yang disebabkan oleh Bruselosis ("demam Krimea") yang menyerangnya selama perang Krimea. 

Sebagai respon pada sebuah undangan dari Ratu Victoria - dan meskipun terdapat keterbatasan kurungan pada ruangannya - Nightingale memainkan peran utama dalam pendirian Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris, dengan Sidney Herbert menjadi ketua. Sebagai wanita, Nightingale tidak dapat ditunjuk untuk Komisi Kerajaan, tetapi ia menulis laporan 1.000 halaman lebih yang termasuk laporan statistik mendetail, dan ia merupakan alat implementasi rekomendasinya. Laporan Komisi Kerajaan membuat adanya pemeriksaan tentara militer, dan didirikannya Sekolah Medis Angkatan Bersenjata dan sistem rekam medik angkatan bersenjata.

Karier Selanjutnya
Ketika ia masih di Turki, pada tanggal 29 November 1855, publik bertemu untuk memberikan pengakuan pada Florence Nightingale untuk hasil kerjanya pada perang yang membuat didirikannya Dana Nightingale untuk pelatihan perawat. Sidney Herbert menjadi sekretaris honorari dana, dan Adipati Cambridge menjadi ketua. Sekembalinya Florence ke London, ia diundang oleh tokoh-tokoh masyarakat. Mereka mendirikan sebuah badan bernama "Dana Nightingale", dimana Sidney Herbert menjadi Sekertaris Kehormatan dan Adipati Cambridge menjadi Ketuanya. Badan tersebut berhasil mengumpulkan dana yang besar sekali sejumlah ₤ 45.000 sebagai rasa terima kasih orang-orang Inggris karena Florence Nightingale berhasil menyelamatkan banyak jiwa dari kematian. Florence menggunakan uang itu untuk membangun sebuah sekolah perawat khusus untuk wanita yang pertama, saat itu bahkan perawat-perawat pria pun jarang ada yang berpendidikan. Florence berargumen bahwa dengan adanya sekolah perawat, maka profesi perawat akan menjadi lebih dihargai, ibu-ibu dari keluarga baik-baik akan mengijinkan anak-anak perempuannya untuk bersekolah disana dan masyarakat akan lain sikapnya menghadapi seseorang yang terdidik.

Sekolah tersebut pun didirikan di lingkungan rumah sakit St. Thomas Hospital, London. Dunia kesehatan pun menyambut baik pembukaan sekolah perawat tersebut.

Saat dibuka pada tanggal 9 Juli 1860 berpuluh-puluh gadis dari kalangan baik-baik mendaftarkan diri, perjuangan Florence di Semenanjung Krimea telah menghilangkan gambaran lama tentang perempuan perawat. Dengan didirikannya sekolah perawat tersebut telah diletakkan dasar baru tentang perawat terdidik dan dimulailah masa baru dalam dunia perawatan orang sakit. Kini sekolah tersebut dinamakan Sekolah Perawat dan Kebidanan Florence Nightingale (Florence Nightingale School of Nursing and Midwifery) dan merupakan bagian dari Akademi King College London.

Sebagai pimpinan sekolah Florence mengatur sekolah itu dengan sebaik mungkin. Tulisannya mengenai dunia keperawatan dan cara mengaturnya dijadikan bahan pelajaran di sekolah tersebut.

Saat tiba waktunya anak-anak didik pertama Florence menamatkan sekolahnya, berpuluh-puluh tenaga pemudi habis diambil oleh rumah sakit sekitar, padahal rumah sakit yang lain banyak meminta bagian.

Perawat lulusan sekolah Florence pertama kali bekerja pada Rumah Sakit Liverpool Workhouse Infirmary. Ia juga berkampanye dan menggalang dana untuk rumah sakit Royal Buckinghamshire di Aylesbury dekat rumah tinggal keluarganya.

Dengan perawat-perawat terdidik, era baru perawatan secara modernpun diterapkan ditempat-tempat tersebut. Dunia menjadi tergugah dan ingin meniru. Mereka mengirimkan gadis-gadis berbakat untuk dididik di sekolah tersebut dan sesudah tamat mereka diharuskan mendirikan sekolah serupa di negerinya masing-masing.

Pada tahun 1882 perawat-perawat yang lulus dari sekolah Florence telah tumbuh dan mengembangkan pengaruh mereka pada awal-awal pengembangan profesi keperawatan. Beberapa dari mereka telah diangkat menjadi perawat senior (matron), termasuk di rumah sakit-rumah sakit London seperti St. Mary's Hospital, Westminster Hospital, St Marylebone Workhouse Infirmary dan the Hospital for Incurables (Putney); dan diseluruh Inggris, seperti: Royal Victoria Hospital, Netley; Edinburgh Royal Infirmary; Cumberland Infirmary; Liverpool Royal Infirmary dan juga di Sydney Hospital, di New South Wales, Australia.

Orang sakit menjadi pihak yang paling beruntung di sini, disamping mereka mendapatkan perawatan yang baik dan memuaskan, angka kematian dapat ditekan serendah mungkin. Buku dan buah pikiran Florence Nightingale menjadi sangat bermanfaat dalam hal ini.

Pada tahun 1860 Florence menulis buku Catatan tentang Keperawatan (Notes on Nursing) buku setebal 136 halaman ini menjadi buku acuan pada kurikulum di sekolah Florence dan sekolah keperawatan lainnya. Buku ini juga menjadi populer di kalangan orang awam dan terjual jutaan eksemplar di seluruh dunia.

Pada tahun 1861 cetakan lanjutan buku ini terbit dengan tambahan bagian tentang perawatan bayi. 

Pada tahun 1869, Nightingale dan Elizabeth Blackwell mendirikan Universitas Medis Wanita. 

Pada tahun 1870-an, Linda Richards, "perawat terlatih pertama Amerika", berkonsultasi dengan Florence Nightingale di Inggris, dan membuat Linda kembali ke Amerika Serikat dengan pelatihan dan pengetahuan memadai untuk mendirikan sekolah perawat. Linda Richards menjadi pelopor perawat di Amerika Serikat dan Jepang.

Pada tahun 1883 Florence dianugrahkan medali Palang Merah Kerajaan (The Royal Red Cross) oleh Ratu Victoria.

Pada tahun 1907 pada umurnya yang ke 87 tahun Raja Inggris, di hadapan beratus-ratus undangan menganugerahkan Florence Nightingale dengan bintang jasa The Order Of Merit dan Florence Nightingale menjadi wanita pertama yang menerima bintang tanda jasa ini.

Pada tahun 1908 ia dianugrahkan Honorary Freedom of the City dari kota London.

Nightingale adalah seorang universalis Kristen.[6] Pada tanggal 7 Februari 1837 – tidak lama sebelum ulang tahunnya ke-17 – sesuatu terjadi yang akan mengubah hidupnya: ia menulis, "Tuhan berbicara padaku dan memanggilku untuk melayani-Nya.

Florence Nightingale meninggal dunia di usia 90 tahun pada tanggal 13 Agustus 1910. Keluarganya menolak untuk memakamkannya di Westminster Abbey, dan ia dimakamkan di Gereja St. Margaret yang terletak di East Wellow, Hampshire, Inggris.

Sumber:
Anonim. (2012). Florence Nightingale. Diambil dari www.id.wikipedia.org pada tangal 18 Maret 2013 
Cen, Sie Swie. (1997). Seri Tokoh Dunia: Florence Nightingale. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Dewi, Yumika Anindya.(2013). Biografi Florence Nightingale: The Lady with The Lamp. Diambil dari grefada.com pada 18 Maret 2013 

Kamis, 14 Maret 2013

Two Nurses- One Old, One New


-A mother’s example counts for a lot when the tables are turned-

Your mother has a brain tumor,” Dr. Watts said. My stomach flip-flopped. “It’s about the size of a small orange,” he went on. “You’re a nurse. You know the protocols.”

Mom. A brain tumor? Always energetic and healthy, she’d been a little weak in recent months. But this?

I walked into her hospital room and found her alone. She was weeping. By the time our hug ended, her tears had stopped.

“Have you heard what’s wrong?” she asked.

“No,” I lied. I couldn’t bear to say her diagnosis out loud.

“I have a brain tumor,” she said, fingering the bedsheets.“Dr. Watts wants to operate.”

I could only squeeze her hand. She sighed. “It’ll be all right. What’s meant to be will be.”

Like patterns in a child’s kaleidoscope, the memories began to shift in and out. I remembered Mom caring for Grandma after the stroke paralyzed her. Mom ordered the equipment and remade Grandma’s dining room into a sick room. She taught me how to bathe Grandma in bed, feed her so she wouldn’t choke, and passively exercise her arms and legs.

But now Mom was in the hospital, unable to shower without assistance. Mom—the nurse so valued by her colleagues, the one who’d made nursing come alive for me since I was a child. The next morning I carried a basin of water to her bedside to help her wash. As I wrapped the cloth around my fingers, I remembered how she let me splash my hands in the white enamel dishpan while she bathed my little brother. I was only four at the time and didn’t realize that my brother was very ill. I watched Mom squeeze the red medicine into my brother’s mouth from an eyedropper, and how she carefully peeled the tape from his skin, so slowly he didn’t even flinch.

Now I was moving the washcloth down my mother’s arm. She looked at me and smiled encouragingly, the way she did that day, while she bathed my little brother.

The nurse came in to give Mom her pills. Mom smiled as she took the medicine cup. I held the glass of water close to her chin so she could drink from the straw. When I was 13, Mom and my pharmacist father made me deliver medications to homebound seniors. I protested, not wanting to knock on strangers’ doors. But Mom advised me to smile, ask how they were doing, and say something complimentary. Most of the older people smiled back; a few gave me cookies or candy. My interest in home health care—the very comfort I feel today when I enter a patient’s home—is due in part to Mom’s advice.

Later, as I was smoothing Mom’s sheets, I remembered being nine and sick in bed with bronchitis. As Mom fussed over me, she told me stories about her patient, Robbie, a little boy whose leg had been broken in an automobile accident. She told me how he cried when she had to stick him with needles, and how she’d comfort him with a hug—and toast and jelly.

“Grape was his favorite,” Mom said, and that one little detail made an impression on me.

“Do you remember telling me about your patient, Robbie?” I asked, as I fluffed Mom’s pillow.

“I do. He was a special kid. He loved his grape jelly.” She smiled. “Sometimes the little things are what mean the most to patients.”

And then I asked Mom how she felt about all her years in nursing, whether she ever regretted her choice of profession.

“Never,” she answered.

“Nursing has helped me understand what’s important in life.”

Dr. Watts had explained that there was a 50–50 chance the tumor would be malignant, but Mom seemed unfazed.

“I’ve stopped worrying,” she said. When I left the hospital the evening before the surgery, she appeared calm and upbeat. “I’ll be fine, you’ll see.” The next morning I arrived to find her lying on a cart in the hallway, looking so small and frail, so different from the day before. She raised her head and smiled at me. I kissed her cheek, but then the attendant came to wheel her into the operating room.

Hours later, Dr. Watts burst through the door of the waiting area in his wrinkled green scrubs. “We got the whole thing out,” he said with a big smile. “It was benign, a meningioma. I don’t anticipate problems. She’s in recovery. You can see her shortly.”

I sat by her side. Her head was swathed in a turban of white bandages. Her eyes fluttered open. “You’re still here?” she murmured.

I squeezed her hand. “Of course.”

“Two nurses, one old and the other new,” she whispered, and fell back asleep.




By Lois A. Gerber, MPH, RN
Lois A. Gerber does volunteer work with foster
children and at-risk families. She lives in Port
Orange, FL. Contact author: lgerberrn@aol.com.
Reflections is coordinated by Madeleine Mysko,
MA, RN, mmysko@comcast.net. Illustration by
Janet Hamlin.


AJN ▼ July 2010 ▼ Vol. 110, No. 7

Panggil Bapak, Pak Lik


                                               


"Allah... Allah... Allah..." Hanya ini yang keluar dari mulutku dan terus kubisikkan di telinga kanan bu lik1 Nia yang kini sedang melawan maut di salah satu kamar ICVCU. Tak terputus... Sesekali tercekat oleh tangis yang tak kuasa ku bendung. 

"Allah... Allah... Allah..." Tak terputus, dan terus kubisikkan. Badanku setengah membungkuk, berdiri di pojok samping kanan bu lik Nia, tepat menjangkau telinga. Sebelah kanan dan kirinya, berdiri petugas kesehatan yang bergantian memompa dada bu lik Nia dengan begitu sigap. Satu orang sibuk mondar-mandir, meracik obat sambil meneriakkan sesuatu, entah, tapi mungkin itu adalah nama obat yang ia masukkan. Dan, satu orang lagi dengan stetoskop menggantung di lehernya, berdiri kira-kira di ujung tempat tidur, dekat kaki bu lik Nia. Ia, hanya berdiri sambil mengarahkan pandangannya ke arah bu lik Nia dan sesekali ke arah monitor yang terus bersuara seolah suara jantung bu lik Nia yang dikeraskan. Semua sibuk. Dan begitu riuh, meretakkan keheningan malam. Saat ini, tepat pukul 23.30.   

"Allah... Allah... Allah..." Terus kubisikkan di telinga kanan bu lik Nia, dengan berdiri setengah membungkuk. Ku belai pipinya, ku usap pundaknya, dan kugenggam lengan dan tangannya sejauh yang ku raih sembari terus membisikkan kata-Allah di telinganya. Tiba-tiba, terlihat laki-laki tua masuk ke dalam kamar dengan jalan tergopoh-gopoh bersama tongkatnya. Itu bapak. Beliau tersenyum menatapku dan matanya terlihat pak berkaca-kaca. Aku berusaha bangun dan mendekati bapak. Tapi bapak memberiku kode untuk tetap berada di tempat. Bapak yang mendekatiku. Mengambil posisi di samping kananku dan mendekati telinga bu lik Nia, membisikkan kata-Allah ditelinganya. Bapak, sesekali menengok ke kiri, sembari menatapku. Begitu berulang kali. Entah, tatapan yang keberapa, bapak dengan suara rendah mengatakan bahwa bu lik Nia adalah ibu kandungku. Mulutku terdiam. Dadaku berdegup sangat cepat. Mata kami saling bertatap. Spontan, aku raih telapak tangan kanan bu lik Nia, aku cium tangannya berkali-kali dan ku katakan,"Ibuuu... maafkan Ifa... terima kasih semuanya, terima kasih atas keputusan ibu menyerahkan pengasuhan Ifa pada keluarga bapak Bayu... Terima kasih Bu..." Terus ku ciumi tangan ibu kandungku sembari tersedu dan ingatanku terus berputar setengah memprotes, "Kenapa bapak baru memberi tahuku sekarang...?"

Dua puluh menit berlalu, dan dokter menyatakan kondisi bu lik Nia, ibu kandungku, kembali stabil dan akan kembali diobservasi ketat. Dada bu lik Nia tidak lagi dipompa, selang napas dari mulut yang tadinya dipompa dengan balon manual, kini disambung kembali dengan mesin napas. 

Aku dan bapak diminta keluar kamar dan diperbolehkan untuk sementara menunggu di dalam ruangan ICVCU, di depan kamar bu lik Nia. 

Aku terus tertunduk, sesenggukan, sesekali menatap wajah ibu kandungku yang terbaring di kamar ICVCU dengan penuh sesal, "Kenapa aku baru tahu sekarang... Terlambat! Pantaskah aku menjadi anak yang berbakti?"

Bapak menggenggam erat pundakku sembari memegang tongkatnya di tangan kiri dan berkata, "Ifa, maafkan Bapak. Seharusnya Bapak dari dulu memberi tahu kamu siapa orang tuamu sebenarnya. Ini, pasti sangat mengagetkanmu bukan? Maafkan Bapak Nak? Sekarang, terserah kamu, kamu bisa panggil Bapak dengan panggilan Pak lik2 karena bapak adalah Paklikmu sendiri." Spontan, kudekap bapak dengan erat, sangat erat. Dan, kubisikkan kata, "Terima Kasih Bapak, Bapak adalah bapak yang telah mengasuhku dari kecil dengan penuh kasih sayang, mengantarkanku mengejar citaku. Sekali lagi Terima kasih..."